Indosiar's wife


A husband said to his wife, ‘I miss my family. It’s been awhile since we last saw them. I hope you will prepare lunch tomorrow, so I can invite them.’

The wife said with a sigh, ‘God willing, it will be good.’

The husband said, ‘Alright, I will invite them’.

The next morning, the husband went to work. At one o'clock he came home, and said to his wife, ‘Did you cook lunch? My family will come in an hour.’

His wife replied, ‘No, I did not cook anything. Your family are not strangers, they can eat whatever is in the house.’

The husband said, ‘God forgive you! Why didn't you tell me yesterday that you wouldn’t prepare a meal? They will all soon be arriving, what will I do?’

The wife said, ‘Call them and apologize to them, after all, they are not strangers’. 

The husband left the house upset. After a awhile, there was a knock on the door. The wife got up, opened the door and was surprised to see her parents, brothers, sisters and their children!

Her father asked her, "Where is your husband?"

‘He left a while ago,’ she replied. 

Her father said, "Yesterday, your husband invited us for lunch. Is it possible for him to invite us and then leave the house?"

The wife was stunned by the news, and began rubbing her hands, puzzled that the food in the house was not befitting for her family. She called her husband and said to him, ‘Why didn't you tell me that you intended to invite my family for lunch?’

He said to her, ‘My family is your family, and yours is mine. There's no difference.’

‘Please bring takeout when you come home, there is no food here’.

Her husband responded, ‘I am far from home now. You told me family are not strangers, so apologize, and feed them from the food in the house that you wanted to feed my family.’

— credit Dik Badi

UWAIS Al QARNI YANG TIDAK MEMINTA SYURGA


(Balasan Allah yang luar biasa kepada anak yang berbakti kepada orang tuanya)

Ingatkah kita akan sosok Uwais al-Qarni? Sosok pemuda yang tidak dikenal di bumi tapi namanya harum di langit menjadi perbincangan para Malaikat. Bahkan, di bumi orang-orang menganggapnya gila. 

Uwais al-Qarni hidup di masa Rasulullah dan tinggal di negeri Yaman. Hidupnya miskin dan ia menderita sakit kulit dimana seluruh tubuhnya belang-belang. Ia tinggal bersama Ibunya yang sudah berusia senja. Apa pun permintaan Ibunya selalu dipenuhi. Hingga tiba saatnya Sang Ibu meminta satu permintaan yang sulit ia kabulkan. 

"Wahai Ananda, Ibu sudah tua. Ibu rindu melihat ka'bah. Ibu rindu melakukan ibadah haji. Mungkinkah Engkau bawa Ibumu ke tanah suci." Pinta Sang Ibu kepada anaknya Uwais. 

Melihat permintaan Ibu yang begitu serius, Uwais sebenarnya tidak ingin mengecewakan Ibunya. Tapi kondisi hidup yang miskin dan tidak memiliki unta membuat harapan Ibunya seakan mustahil diwujudkan. 

Namun Uwais tidak kehabisan akal. Kondisi hidupnya yang miskin tidak dijadikan alasan dan dalih untuk menolak permintaan Ibu. Uwais akhirnya membeli seekor anak lembu dan ia membuat kandangnya di puncak bukit. Setiap pagi ia gendong anak lembu itu untuk diturunkan dan sore harinya anak lembu itu kembali ia naikkan ke puncak bukit. Inilah penyebab kenapa orang-orang menganggap Uwais gila. 

Akhirnya delapan bulan kemudian baru terjawab. Uwais membeli anak lembu sebagai latihan fisik agar otot-ototnya kuat. Bagaikan Ibu hamil yang tidak terasa bayi yang dikandungnya semakin hari semakin besar, Uwais pun tidak menyangka kalau sekarang ia sudah mampu mengangkat beban yang berat. Maka lembu yang sudah besar itu dijual untuk biaya perjalanannya dan ia menggendong Ibunya dari Yaman ke Mekah. 

Saat tiba di Mekah, Sang Ibu sudah mulai berlinangan air mata. Terharu dengan pengabdian anaknya yang luar biasa. Saat tiba di tempat mustajabah, Ibunya mendengar anaknya Uwais berdoa, "Ya Allah, masukkanlah Ibuku ke Syurga!" 

Mendengar doa Uwais seperti itu Ibunya berkata, "Kenapa Engkau tidak berdoa kepada dirimu Nak? Kenapa hanya Ibu saja yang Engkau doakan?" Uwais menjawab: "Dengan Ibu masuk syurga, Ibu akan ridha kepadaKu, maka cukup dengan ridha Ibu yang akan mengantarkanku masuk ke Syurga." 

Jawaban Uwais seperti itu membuat Ibunya semakin kagum kepada anaknya. Tanpa Ia berdoa kesembuhannya, penyakit kulit yang diderita Uwais sembuh seketika. Kecuali hanya bulatan kecil di tangannya sebagai tanda bagi Saidina Umar dan Saidina Ali ketika mencari Siapa Uwais al-Qarni karena Rasulullah memerintahkan Umar dan Ali untuk mencari Uwais, meminta didoakan oleh Uwais karena doanya diterima oleh Allah. 

Uwais al-Qarni memang tidak mendoakan syurga. Ia hanya mencari ridha Ibunya. Namun tahukah apa yang didapatkan Uwais? Ternyata Uwais tidak hanya masuk syurga, ia juga diberikan jatah syafaat sehingga mampu membawa orang lain masuk syurga bersamanya sejumlah bilangan manusia dalam suku Rabi'ah dan Mudhar (dua suku terbesar dalam bangsa Arab) 

Cerita Uwais al-Qarni ini disarikan dari Pengajian Syarah Hikam Ibnu 'Ibad Ar-Randy bersama Abi Zahrul Fuadi Mubarak (Wadir I Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga) Ramadhan 1437 H/ 2016 M 

Semoga bermanfaat!!! Semoga kita menjadi anak yang berbakti...!!!

Aamiin ya rabbal alamin.

Keutamaan dan Amalan-amalan di Bulan Sya'ban

Amalan dan keutamaan bulan Syaban perlu untuk diketahui.

Hal ini penting untuk mendekatkan diri dan meningkatkan ketakwaan terhadap Allah SWT.

Seperti bulan lainnya, Syaban juga memiliki keutamaan dan juga amalannya sendiri.

Yuk, ketahui lebih dalam!

Diapit oleh bulan Rajab dan juga Ramadan, keutamaan Syaban sering dilupakan.

Padahal, dalam Syaban terdapat banyak keutamaan yang bisa meningkatkan kualitas hidup.

Rasulullah SAW bersabda:

ุฐุงูƒَ ุดู‡ุฑ ุชุบูู„ ุงู„ู†ุงุณ ูِูŠู‡ ุนู†ู‡ ، ุจูŠู† ุฑุฌุจ ูˆุฑู…ุถุงู† ، ูˆู‡ูˆ ุดู‡ุฑ ุชุฑูุน ููŠู‡ ุงู„ุฃุนู…ุงู„ ุฅู„ู‰ ุฑุจ ุงู„ุนุงู„ู…ูŠู†، ูˆุฃุญุจ ุฃู† ูŠุฑูุน ุนู…ู„ูŠ ูˆุฃู†ุง ุตุงุฆู… -- ุญุฏูŠุซ ุตุญูŠุญ ุฑูˆุงู‡ ุฃุจูˆ ุฏุงูˆุฏ ุงู„ู†ุณุงุฆูŠ

Artinya: Bulan Syaban adalah bulan yang biasa dilupakan orang, karena letaknya antara bulan Rajab dengan bulan Ramadan. Bulan Syaban adalah bulan diangkatnya amal-amal. Karenanya, aku menginginkan pada saat diangkatnya amalku, aku dalam keadaan sedang berpuasa. (HR Abu Dawud dan Nasa'i)

Keutamaan bulan Syaban adalah:

  • Nisfu Syaban
  • Bulan berpuasa bagi Rasulullah
  • Waktu di mana amal manusia diangkat ke langit
  • Turunnya perintah bersalawat
  • Terjadinya perubahan kiblat dari Masjidil Aqsa Palestina ke Masjidil Haram Makkah

 Berikut amalan Syaban yang bisa dilakukan.

1. Perbanyak Salawat

Salawat adalah salah satu keutamaan dan amalan yang bisa dilakukan saat bulan Syaban.

Ayat perintah bersalawat hadir dalam Surat Al-Ahzab Ayat 56.

Sayyid Muhammad bin Abbas Al-Maliki dalam Kitabnya "Ma Dza fi Syaban" menukil salah satu hadis riwayat Imam Ad-Dailami dari Sayyidah Aisyah, berkata:

ุดَุนْุจุงَู†ُ ุดَู‡ْุฑِูŠْ ูˆَุฑَู…َุถَุงู†ُ ุดَู‡ْุฑُ ุงู„ู„ِู‡ ูˆَุดَุนْุจَุงู†ُ ุงู„ู…ُุทَู‡ِّุฑُ ูˆَุฑَู…َุถَุงู†ُ ุงู„ู…ُูƒَูِّุฑُ

Artinya: "Syaban adalah bulanku, dan Ramadan bulan Allah. Bulan Syaban menyucikan dan Ramadan menggugurkan dosa".

2. Perbanyak Puasa

Dikutip dari NU Online, Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan pengakuan Aisyah, bahwa Rasulullah SAW tidak pernah berpuasa (sunah) lebih banyak daripada ketika bulan Syaban.

Periwayatan ini kemudian mendasari kemuliaan bulan Syaban di antara bulan Rajab dan Ramadan.

3. Perbanyak Zikir

Pada bulan ini, sungguh Allah banyak sekali menurunkan kebaikan berupa syafaat (pertolongan), maghfirah (ampunan), dan itqun min adzabin naar (pembebasan dari siksaan api neraka).

Dari sinilah umat Islam, berusaha memuliakan bulan Syaban dengan mengadakan sedekah dan menjalin silaturrahim.

4. Minta Ampun

Para ulama menyatakan bahwa Nisfu Syaban juga dinamakan sebagai malam pengampunan atau malam maghfirah.

Hal itu dikarenakan pada malam NisfU Syaban Allah SWT menurunkan pengampunan kepada seluruh penduduk bumi, terutama kepada hamba-Nya yang salih.

Nah, itu dia keutamaan dan amalan bulan Syaban. MasyaAllah!

Sejarah Dayah Istiqamatuddin Serambi Aceh

Sejarah Dayah Istiqamatuddin Serambi Aceh Sejarah Berdirinya Dayah Istiqamtuddin Serambi Aceh berlokasi di desa Cot Keumude Kemukiman Cot Bada Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Pimpinan dayah yang pertama dan sampai sekarang dikenal dengan Al-Mukarram Abon Munajar Bin H. Safwan Ali dengan para santri berjumlah lebih kurang 110 orang putra dan 50 orang putri. Mareka diasuh oleh 10 orang tenaga pengajar lelaki dan 1 orang guru putri. Sesuai dengan kondisi zaman pada masa ini bangunan asrama tempat menampung para santri merupakan barak-barak darurat yang dibangun dari batang bambu dan rumbia.    

A. Pemikiran dan Dasar Rujukan Beranjak dari kebutuhan yang mendasar lagi perkembangan jiwa dan mental setiap manusia, pendidikan merupakan jawaban utama yang pasti didahulukan, dikarenakan berbagai perkembangan yang terekam dalam proses kehidupan, ilmu merupakan filter, pencerna dan pengolah terhadap perkembangan tersebut, khususnya bagi anak-anak kita sebagai generasi penerus bangsa. Anak merupakan embio pemimpin masa depan dalam meneruskan cita-cita agama dan bangsa, sangat perlu adanya ilmu pengetahuan yang mampan untuk menghadapi berbagai perkembangan yang kian hari terus bertambah pesat, hingga mereka tidak tertinggal atau bahkan larut dalam perkembangan secara tidak sadar. Gejala dan krisis moral anak remaja saat ini dan para muda-mudi tampaknya sudah terlalu jauh walaupun perkembangan itu bergerak belum begitu jauh, dalam pengertian belum sebanding, bisa diprediksikan gejala dan krisis moral tersebut ini akan terus bertambah apabila tanpa sentuhan pendidikan agama yang memadai, apalagi harus berhadapan dengan lingkungan yang semakin tidak terbaca lagi dengan kaedah budaya, agama dan sosial. Ilmu pengetahuan agama adalah jawaban untuk segala tantangan baru bagi perkembangan para remaja, dengan pengetahuan agama terkontrol terhadap moral dari penggeseran nilai-nilai budaya dan sosial dapat terdeteksi dan menjadi filter dalam menerima setiap perkembangan. Anak-anak merupakan bentuk kepolosan mental yang hakiki, mereka bisa diantar kemanapun orang yang mengantarnya, dan kita sebagai pemimpin hari ini untuk mereka anakyatim dan fakir miskin, atau kita hanya cuma menonton pertujukan-pertujukan yang suatu saat mata kita berdarah.

 B. Langkah Inisiatif dari berbagai alternatif dari wacana serhadana di atas, langkah-langkah yang mesti disusun secermat dan sejelis mungkin adalah dengan memberi pendidikan agama semaksimal mungkin, dimana perkembangan mental yang baru tumbuh, dengan mendapat sentuhan ilmu pengetahuan agama, dasar memilah dan memilih antara yang baik dengan yang tidak menjadi bagian yang pertama mengisi mental mereka dalam arti lain sebelum kita mencoba memasukkan yang lain dalam pikiran mereka ( anak yatim dan fakir miskin ), kita terlebih dahulu memasang filter dalam sistem perangkat pikiran mereka, kita berusaha memberikan pendidikan agama semaksimal mungkin, agar mereka memahami agama secara jelas dan memiliki modal untuk memilih setiap perkembangan sosial, teknologi dan budaya dalam kaca mata agama. Agar pelangaran tata nilai agama yang telah jauh dari santri menjadi tertata kembali, sekaligus menjadi santri yang taat dan berbakti.
 
C. Sasaran Sasaran yang menjadi tanggung jawab saat ini yaitu menciptakan wadah pendidikan yang tepat dan potensial terhadap kondisi masyarakat tanpa harus terbebani tetapi mereka tetap anak yatim piatu dan fakir miskin yang mempunyai peluang dan kualitas ilmu serta sistem pendidikan yang baik. Maka dari kajian tersebut lahirlah gagasan untuk mendirikan suatu pendidikan, yang merupakan suatu wadah Pondok Pasantren dalam menciptakan generasi madani. Yang Insya Allah dalam kesederhanaan dan keterbatasan telah mencoba menyentuh masyarakat sekitar lingkungannya, untuk memposisikan Pasantren / Dayah Istiqamatuddin Serambi Aceh menjadi tujuan pendidikan agama mereka dan hingga saat ini juga dengan kehendak Allah telah menjadi bagian dari anak-anak santri. Pondok Pasantren / Dayah Istiqamatuddin Serambi Aceh merupakan Dayah yang sedang berkembang saat ini yang bergerak dalam bidang sosial. Dengan segala keterbatasan hingga saat ini Pondok Pasantren / Dayah Istiqamatuddin Serambi Aceh telah menampung santri 160 orang dengan guru 11 orang.

D. Tujuan Pendidikan Pendidikan dan pengajaran di Dayah Istiqamatuddin Serambi Aceh di tujukan kearah pembentukan Sumber Daya Manusia yang berakhlak mulia, berbadan sehat, berpengetahuan luas, beramal ikhlas guna mengabdi di masyarakat.Anak didik diharapkan tumbuh menjadi manusia yang berwawasan keagamaan yang universal dan kosmopolitan, agar memiliki kemampuan tinggi dalam menghadapi kehidupan masyarakat modern dan menghindari pengaruh budaya westernisasi dan menyiram kesegaran batin generasi muda yang menjadi korban sekulerisme budaya asing. Demikian juga pendidikan dan pengajarannya senantiasa diarahkan untuk berperan aktif membina keteguhan, keimanan dan berjihat di jalan Allah, berpegang taguh pada Al-Quran, Sunnah Rasul, Ijma` Ulama, serta Qiyas yang berwawasan Ahli Sunnah. 

E. Organisasi dan Kelembagaan Pondok Pesantren. 
1. Pimpinan Dayah.     
a.Wadir Bidang Pendidikan.    
 b.Wadir Bidang Keuangan.    
 c. Wadir Bidang Pengembangan dan Kesantrian. 

G. Organisasi Otonomi    
1. Koperasi Pesantren (Kopontren)    
2. Majlis Ta`lim   
 3. T P A H. Jumlah Santri Jumlah santri yang belajar di Dayah Serambi Aceh sekarang ini adalah sebanyak 160 orang. yang terdiri dari 110 santriwan dan 50 santriwati. 

I. Kedisiplinan/tugas.
 1. Santriwan/santriwati. 
a). Mengikuti pelajaran setiap belajar (pagi, sore, malam) 
b). Mengikuti shalat berjama`ah setiap waktu 
c). Memakai busana muslim, seragam putih sewaktu belajar 
d). Dilarang memasak dengan siswa yang bukan mahram 
e). Dilarang masuk kamar orang lain tanpa izin
 f). Dilarang keluar komplek tanpa izin 
g). Tidak boleh keluar mushalla sebelum selesai wirid 
h). Menghentikan segala kegiatan sewaktu azan 
i). Mengikuti dalail khairat/muhadharah pada malam Jum`at j). Dan lain-lain. 

2. Wali murid 
a). Mengantar dan menjemput pelajar putri 
b). Setiap masuk komplek wajib berbusana muslim/muslimah 
c) Antar/jemput santriwan/wati sepengetahuan pimpinan 
d). Bagi yang melanggar ketentuan diatas dikenakan sanksi    
 
J. Tenaga pendidik/guru. Peranan dan tenaga pendidik sangat penting dalam pendidikan, betapapun baiknya konsep sebuah lembaga yang didukung oleh fasilitas dan prasarana yang cukup lengkap, namun akan kurang nilainya bila ditangani oleh guru yang kurang berkualitas. 
Oleh karena demikian rekruitmen guru di Dayah Istiqamtuddin Serambi Aceh dilakukan dengan proses seleksi, dimana guru yang ditempatkan pada tingkatan kelas disesuaikan dengan kemampuan intelektual mereka. Jumlah tenaga guru pendidik pada Dayah Istiqamatuddin Serambi Aceh Desa Cot keumude saat ini berjumlah 11 guru, dimana 10 guru laki-laki dan 1 guru perempuan .Keseluruhan guru yang mengajar di Dayah Serambi Aceh adalah alumni dari Dayah itu sendiri yang telah menguasai dan menjiwai nilai dan sunnah pesantren tersebut. 
 
Sumber : http://www.babuljannahtv.com  

Ini Isi Surat Pernyataan Perang Belanda untuk Aceh

Pada 26 Maret 1873, Belanda menyatakan ultimatum perang terhadap Kerajaan Aceh dari atas geladak kapal uap Citadel van Antwerpen yang berlabuh di perairan Aceh Besar.  Seperti apa bunyinya?

Sebuah  koran berbahasa Inggris, Javasche Courant, mempublikasikan sebagian isi ultimatum perang itu pada tanggal 3 April 1873.
Begini bunyinya:
Menimbang:
dsb.dsb.:
Berdasarkan kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah
Hindia Belanda, maka dengan ini, atas nama Pemerintah tersebut:
MENYATAKAN PERANG
Kepada
Sultan Aceh

Dan pernyataan ini lebih lanjut memberitahukan pula kepada setiap orang yang bersangkutan serta memperingatkan kepada setiap orang akan segala akibat yang mungkin ditimbulkan olehnya serta kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada setiap warga negara di dalam masa peperangan.
Termaktub di kapal uap Sri Baginda Raja “Citadel van Antwerpen” yang berlabuh di
Perairan Aceh Besar, pada hari ini, Rabu, tanggal 26 Maret 1873.
ttd.
NIEUWENHUYZEN
Sumber: Dikutip dari buku Perang Kolonial Belanda di Aceh, terbitan 1977. Buku ini dikerjakan oleh sebuah tim khusus. Presiden Indonesia saat itu, Soeharto, ikut memberikan kata sambutan.

Sejarah Perang Aceh Melawan Belanda, 1873-1904

Perang Aceh ialah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 sampai 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut. Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, & mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen.

Pada 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Kรถhler, & langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Kรถhler saat itu membawa 3. 198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira.

Penyebab Terjadinya Perang Aceh

Perang Aceh disebabkan karena:
Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari Perjanjian Siak 1858. Di mana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan & Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh.

Belanda melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian London tahun 1824. Isi perjanjian London ialah Belanda & Britania Raya membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
Aceh menuduh Belanda tak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yg lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania.

Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan.

Ditandatanganinya Perjanjian London 1871 antara Inggris & Belanda, yg isinya, Britania memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak & menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Britania.

Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia, Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871.
Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia & Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh & meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yg sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.

Strategi Siasat Snouck Hurgronje Mata-mata Belanda

Untuk mengalahkan pertahanan & perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yg menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan & ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh [De Acehers]. Dalam buku itu disebutkan strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh. Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan Keumala [yaitu Sultan yg berkedudukan di Keumala] dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu.

Tetap menyerang terus & menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi & membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh. Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz yg menjadi Gubernur militer & sipil di Aceh [1898-1904]. Kemudian Dr Snouck Hurgronje diangkat sebagai penasehatnya.

Kronologi Perang Aceh Pertama

Perang Aceh Pertama [1873-1874] dipimpin oleh Panglima Polim & Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yg dipimpin Kรถhler. Kรถhler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, dimana Kรถhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yg dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu’uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya.

Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, & beberapa wilayah lain. Perang Aceh Pertama ialah ekspedisi Belanda terhadap Aceh pada tahun 1873 yg bertujuan mengakhiri Perjanjian London 1871, yg menindaklanjuti traktat dari tahun 1859 [diputuskan oleh Jan van Swieten]. Melalui pengesahan Perjanjian Sumatera, Belanda berhak mendapatkan pantai utara Sumatera yg di situ banyak terjadi perompakan. Komisaris Pemerintah Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen yg mengatur Aceh mencoba mengadakan perundingan dengan Sultan Aceh namun tak mendapatkan apa yg diharapkan sehingga ia menyatakan perang pada Aceh atas saran GubJen James Loudon. Blokade pesisir tak berjalan sesuai yg diharapkan.

Belanda kemudian memerintahkan ekspedisi pertama ke Aceh, di bawah pimpinan Jenderal Johan Harmen Rudolf Kรถhler & sesudah kematiannya tugasnya digantikan oleh Kolonel Eeldert Christiaan van Daalen. Dalam ekspedisi tersebut dipergunakan senapan Beaumont untuk pertama kalinya namun ekspedisi tersebut berakhir dengan kembalinya pasukan Belanda ke Jawa. Tak dapat disangkal bahwa Masjid Raya Baiturrahman direbut 2 kali [dan di saat yg kedua kalinya tewaslah Kรถhler]. Terjadi serbuan beruntun ke istana pada tanggal 16 April di bawah pimpinan Mayor F. P. Cavaljรฉ namun tak dapat menduduki lebih lanjut karena keulungan orang Aceh serta banyaknya serdadu yg tewas & terluka. Serdadu Belanda tak cukup persiapan yg harus ada untuk serangan tersebut. Di samping itu, jumlah artileri [berat] tak cukup & mereka tak cukup mengenali musuh. Mereka sendiri harus menarik diri dari pesisir & atas petunjuk Komisaris F. N. Nieuwenhuijzen [yang menjalin komunikasi dengan GubJen Loudon] & kembali ke Pulau Jawa.

Menurut George Frederik Willem Borel, kapten artileri, serdadu dapat memperoleh pesisir bila mendapatkan titik lain yg agak lebih kuat, namun Komandan Marinir Koopman tak dapat memberikan kepastian bahwa ada hubungan yg teratur antara bantaran sungai & saat itu sedang berlangsung muson yg buruk, yg karena itulah kedatangan pasukan baru jadi sulit. Setelah kembalinya ekspedisi itu, angkatan tersebut banyak disalahkan akibat kegagalan ekspedisi itu. Dari situlah GubJen James Loudon mengadakan penyelidikan di mana para bawahan harus memberikan penilaian atas atasan mereka. Penyelidikan tersebut kemudian juga banyak menuai kontroversi & menimbulkan “perang kertas” sesudah Perang Aceh I [dokumen & tulisan pro & kontra penyelidikan tersebut terjadi terus menerus].

Penyelidikan itu masih berawal, sesudah Perang Aceh II, ketika kapten & kepala staf Brigade II GCE. van Daalen menolak untuk ditekan GubJen Loudon. Alasan sebelumnya ialah selama itu Loudon telah memerintahkan penyelidikan yg untuk itu pamannya EC. van Daalen, yg merupaken panglima tertinggi ekspedisi pertama sesudah kematian panglima tertinggi sebelumnya Johan Harmen Rudolf Kohler, sebagai orang jenius yg malang sesudah kegagalan ekspedisi tersebut, dihadirkan & selama penyelidikan itu [meskipun kemudian meninggal] Van Daalen, komandan Pasukan Hindia, Willem Egbert Kroesen mengetahui bahwa pemerintah Hindia-Belanda tak diberi cukup informasi atas terganggunya pembekalan senjata pada pasukan itu. Loudon tak mengizinkan Van Daalen [keponakan] mendapatkan Militaire Willems-Orde & untuk itu memandang bahwa Van Daalen harus terus dikirimi uang tunjangan pensiun. Raja Willem II mulai menganugerahkan Medali Aceh 1873-1874 pada tanggal 12 Mei 1874. Yang khas ialah pembawa medali tersebut juga dapat diberi gesper bertulisan “ATJEH 1873-1874″ pada pita Ereteken voor Belangrijke Krijgsbedrijven. Terdapat pula salib Militaire Willems-Orde & Medaille voor Moed en Trouw.

Perang Aceh Kedua

Pada Perang Aceh Kedua [1874-1880], di bawah Jend. Jan van Swieten, Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, & dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yg dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri.

Perang Aceh Kedua diumumkan oleh KNIL terhadap Aceh pada tanggal 20 November 1873 sesudah kegagalan serangan pertama. Pada saat itu, Belanda sedang mencoba menguasai seluruh Nusantara. Ekspedisi yg dipimpin oleh Jan van Swieten itu terdiri atas 8. 500 prajurit, 4. 500 pembantu & kuli, & belakangan ditambahkan 1. 500 pasukan. Pasukan Belanda & Aceh sama-sama menderita kolera. Sekitar 1. 400 prajurit kolonial meninggal antara bulan November 1873 sampai April 1874.

Setelah Banda Aceh ditinggalkan, Belanda bergerak pada bulan Januari 1874 & berpikir mereka telah menang perang. Mereka mengumumkan bahwa Kesultanan Aceh dibubarkan & dianeksasi. Namun, kuasa asing menahan diri ikut campur, sehingga masih ada serangan yg dilancarkan oleh pihak Aceh. Sultan Mahmud Syah & pengikutnya menarik diri ke bukit, & sultan meninggal di sana akibat kolera. Pihak Aceh mengumumkan cucu muda Tuanku Ibrahim yg bernama Tuanku Muhammad Daud Syah, sebagai Sultan Ibrahim Mansur Syah [berkuasa 1874-1903].

Perang pertama & kedua ini ialah perang total & frontal, dimana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, & tempat-tempat lain.

Perang Aceh Ketiga,

Perang ketiga [1881-1896], perang dilanjutkan secara gerilya & dikobarkan perang fisabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904. Perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim & Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.

Perang Aceh Keempat

Perang keempat [1896-1910] ialah perang gerilya kelompok & perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan & pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.

Taktik Perang belanda Menghadapi Aceh

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan marรฉchaussรฉe yg dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yg telah mampu & menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari & mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh. Taktik berikutnya yg dilakukan Belanda ialah dengan cara penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan & Tengku Putroe [1902].

Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli & berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polim dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara perempuannya & beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polim meletakkan senjata & menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Setelah Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yg menyerah mengikuti jejak Panglima Polim.

Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yg dilakukan di bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yg menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh [14 Juni 1904] dimana 2. 922 orang dibunuhnya, yg terdiri dari 1. 773 laki-laki & 1. 149 perempuan. Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yg masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya Dien dapat ditangkap & diasingkan ke Sumedang.
 

Surat perjanjian tanda menyerah Pemimpin Aceh

Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek [korte verklaring, Traktat Pendek] tentang penyerahan yg harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yg telah tertangkap & menyerah. Di mana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja [Sultan] mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yg ditetapkan Belanda.

Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yg rumit & panjang dengan para pemimpin setempat. Walau demikian, wilayah Aceh tetap tak bisa dikuasai Belanda seluruhnya, dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi perlawanan terhadap Belanda meskipun dilakukan oleh sekelompok orang [masyarakat]. Hal ini berlanjut sampai Belanda enyah dari Nusantara & diganti kedatangan penjajah baru yakni Jepang [Nippon].

Mengenal Tgk,Syik Awe Geutah Ulama Asal Mekkah yang Datang ke Aceh

Di Desa Awe Geutah, Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, Kabupaten Bireuen, ada rumah adat asli Aceh yang masih berdiri kokoh walau usianya sudah ratusan tahun lamanya. Namun, dibalik itu banyak yang tidak mengetahui riwayat tentang pendirinya, Teungku Chik Awe Geutah, seorang ulama yang sangat berperan dalam mengembangkan agama Islam di Aceh.
 
Sayangnya jasa-jasa Teungku Awe Geutah seperti terlupakan. Belum ada sejarawan yang menulis riwayat tentang ulama Sufi itu. Kebanyakan mereka hanya datang untuk melihat pesona Rumoh Aceh yang masih terpelihara keasliannya sampai kini. Tanpa ada yang mau peduli untuk mengabadikannya untuk kita kenang sepanjang masa. Sehingga dikhawatirkan sejarah tentang tokoh ulama besar Aceh tersebut akan punah ditelan masa.

Pihak keluarga Teungku Chik Awe Geutah sendiri sudah banyak yang tidak mengetahui lagi secara mendetail tentang riwayat ulama yang dikenal keramat itu. Makanya untuk menulis kisah tentang Teungku Chik Awe Geutah sangat sulit. Sebab, tidak ada literatur atau referensi sebagai pedoman untuk menguatkan kebenaran penulisan sejarahnya itu.

Untunglah ada seorang peminat sejarah, khususnya tentang riwayat Teungku Chik Awe Geutah, yang masih tersisa di sana. Namanya Teungku Syamaun Cut alias Cut Teumeureuhom. Sebenarnya dia bukan bukan keturunan Teungku Chik Awe Geutah. Tapi kakeknya dulu pernah tinggal bersama anggota keluarga keturunan Teungku Chik Awe Geutah.

Dari cerita-cerita kakeknya itulah dia banyak mengetahui sejarah Teungku Chik Awe Geutah. Malah buruh kilang padi itu punya dokumentasi khusus, dan mengetahui silsilah Teungku Chik Awe Geutah sampai tujuh keturunan hingga saat ini. Nah, tulisan ini berdasarkan penuturannya kepada saya beberapa waktu lalu di bawah rumah Aceh tersebut. Keterangan laki-laki berusia 70 tahun itu, juga dibenarkan beberapa anggota keluarga keturunan Teungku Chik Awe Geutah yang mendampingi kami ketika itu.

Dikisahkan Cut Teumeuruhom, Teungku Chik Awe Geutah bernama asli Abdul Rahim bin Muhammad Saleh. Dia seorang ulama Sufi, yang berasal dari Kan’an, Iraq. Kemudian merantau dan menetap di Desa Awe Geutah, sampai dia meninggal di sana. Namun tidak diketahui persisnya tahun berapa dia pertama kali menginjakkan kaki di desa pedalaman Kecamatan Peusangan Siblah Krueng itu. Di batu nisannya pun tidak tertera tahun meninggal ulama besar tersebut.

Perjalanannya mencari Awe Geutah sebagai tempat menetap, sekaligus mengembangkan agama Islam yang aman dan damai, punya kisah tersendiri. Syahdan sekitar abad ke 13 yang lampau, Abdul Rahim bin Muhammad Saleh sekeluarga, serta tiga pria saudara kandungnya, dan sejumlah pengikutnya melakukan hijrah.

Mereka meninggalkan tanah kelahirannya.Sebab, waktu itu ada pertentangan antar pemeluk agama Islam di sana, meyangkut perbedaan khilafiyah. Untuk menghindari perselisihan yang bisa berakibat perpecahan antar pemeluk agama Islam itulah Abdul Rahim bersama keluarga dan para pengikutnya berinisiatif melakukan hijrah ke tempat lain.

Pencarian untuk mendapatkan negeri yang aman dan tenteram itu, membuat mereka harus menyingggahi beberapa tempat. Pertama Abdul Rahim beserta rombongan mendarat di kepulauan Nicobar dan Andaman di Samudera Hindia. Kemudian singgah di pulau Weh. Lalu ke pulau Sumatera, yang waktu itu mereka menyebutnya pulau Ruja. Di pulau tersebut mereka menetap beberapa saat di Gampong Lamkabeu, Aceh Besar.
 
Merasa belum menemukan tempat yang cocok sebagai tempat menetap, lalu mereka melanjutkan lagi pelayaran. Namun seorang saudara kandung Abdul Rahim tidak mau lagi melanjutkan perjalanan. Namanya tidak diketahui persis. Dia saat itu sudah memantapkan pilihan hatinya untuk bertahan di sana. Konon kabarnya dia kemudian menetap di Tanoh Abee. Di sana dia membangun tempat pengajian. Kelak dia lebih dikenal dengan nama Teungku Chik Tanoh Abee.

Sedangkan pengikut rombongan Abdul Rahim kemudian melanjutkan pengembaraannya. Rombongan tersebut akhirnya mendarat di Kuala Jangka (Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen-red). Sebab, mereka melihatdi situ banyak pelayar yang singgah. Di sana mereka mendapati beberapa toke dari India yang melakukan transaksi penjualan pinang di Kuala Jangka. Salah satunya bernama Cende. Dia mengaku kepada Abdul Rahim, sudah sering pulang-pergi ke Kuala Jangka. Waktu itu Kuala Jangka sudah menjadi pelabuhan yang maju, dan disinggahi para pedagang dari berbagai negara.

Rombongan Abdul Rahim kemudian menetap di Asan Bideun (Sekarang Desa Asan Bideun, Kecamatan Jangka-red). Mereka tinggal beberapa waktu dan mendirikan balai pengajian untuk mengembangkan dan mengajarkan ilmu agama Islam kepada penduduk di sana. Suatu hari Abdul Rahim melihat beberapa perempuan setempat, termasuk istrinya, yang kemudian dikenal dengan nama Teungku Itam, pulang mencuci di sungai dengan berkemben (memakai kain yang menampakkan bagian dada atas). Melihat pemandangan yang tidak biasanya itu, Abdul Rahim punya firasat lain. Dia berkesimpulan, Asan Bideun bukanlah tempat yang cocok sebagai tempat mereka menetap. Negeri itu sudah laklim.

Lalu mereka sepakat pindah ke tempat lain. Kali ini rombongan terpecahb lagi, mereka terbagi tiga kelompok. Satu kelompok yang dipimpin adiknya Abdul Rahim menuju Paya Rabo dan menetap di sana (Sekarang Desa Paya rabo masuk wilayah Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara). Kelompok yang dipimpin adiknya yang lain pergi dan menetap di Pulo Iboh (Sekarang masuk wilayah Kecamatan Jangka).

Sedangkan satu kelompok lagi yang dipimpin Abdul Rahim sendiri hijrah ke Keudee Asan (Sekarang masuk wilayah Kecamatan Peusangan Selatan). Di sana rombongan tersebut sempat menetap beberapa waktu, dan mengadakan pengajian bagi penduduk setempat.

Namun setelah sekian lama menetap di Keudee Asan, dia merasa tempat itu belum cocok untuk dijadikan tempat menetap yang benar-benar sesuai keinginannya. Untuk itulah Abdul Rahim melaksanakan shalat istikharah empat malam berturut-turut, untuk memohon petunjuk dari Allah, dan harus naik ke atas bukit menghadap empat arah penjuru mata angin.

Malam pertama setelah Abdul Rahim melaksanakan shalat istikharah tengah malam, dia naik ke sebuah bukit yang cukup tinggi, namanya Gle Sibru (Sekarang masuk wilayah Desa Cibrek, Kecamatan Peusangan Selatan). Di atas bukit itu Abdul Rahim berdiri menghadap ke arah selatan. Agak lama juga dia menatap ke sana, namun tidak tampak apa-apa. Yang terlihat hanya pucuk labu. Konon kabarnya, pucuk labu yang dilihat Abdul Rahim itu adalah Desa Geulanggang Labu, Kecamatan Peusangan Selatan sekarang.

Malam kedua, setelah shalat istikharah, Abdul Rahim naik lagi ke atas bukit tersebut. Kali ini dia menghadap ke arah barat, tapi dia tidak melihat apapun. Malam berikutnya dia juga melakukan hal yang sama, dengan menghadap ke arah utara. Hasilnya tetap nihil, tidak mendapatkan petunjuk apa-apa.

Baru pada malam keempat Abdul Rahim mendapatkan hasilnya. Ketika dia menghadap ke arah timur, pandangan matanya terlihat sesuatu. Seberkas cahaya putih bersih dia lihat menyembul di sana. Abdul Rahim berkeyakinan, di daerah sembulan kilauan cahaya itulah tempat yang aman dan damai sebagai tempat tinggal yang permanen.

Maka keesokan harinya mereka langsung berangkat menuju ke daerah asal cahaya tadi. Singkat cerita, sesuai petunjuk Abdul Rahim yang memimpin perjalanan, tibalah mereka di sebuah tempat yang diyakininya sebagai daerah asal cahaya itu.

Saat itu, di sana masih berhutan belantara. Kemudian hutan-hutan itu mereka tebang dan bersihkan untuk dijadikan perkampungan. Suatu hari sambil melepas lelah, setelah capek bergotong-royong, Abdul Rahim menanyakan pada rekan-rekannya, apa nama yang cocok ditabalkan untuk tempat pemukiman baru itu. Ada beberapa nama yang diusulkan mereka, tapi dirasakan tidak ada yang cocok.

Seorang di antara mereka, sambil duduk-duduk membersihkan getah rotan yang lengket di tangannya, mengusulkan sebuah nama. “Untuk apa capek-capek memikirkan nama. Bagaimana kalau kita namai saja Awe Geutah?” tanya orang itu. Usulan itu pun diterima Abdul Rahim dan rekan-rekan mereka yang lain. Nah, sejak saat itulah tempat pemukiman baru mereka itu dinamakan Awe Geutah. 

Sumber : atjehcyber.net
 gk. Syik Awe Geutah adalah ulama asal Mekkah yang datang ke Aceh pada masa Sultan Badrul Munir Jamailullail bin Syarif Hasyim (1703-1726). Sejak Azyumardi Azra meneliti jaringan ulama Nusantara pada abad XVII-XVII, didapati hubungan Aceh dengan Haramayn (Mekkah dan Madinah) telah membawa gagasan pembaharuan Isl‚m di Nusantara. Maka kehadiran Chik Awe Geutah ke Aceh tidak lepas dari jaringan ulama pada abad ke-17 dan 18 itu.

Sumber Artikel : https://www.alhaq.xyz/detailpost/mengenal-tgk-syik-awe-geutah-ulama-asal-mekkah-yang-datang-ke-aceh
Fanspage : ALHAQ
Tgk. Syik Awe Geutah adalah ulama asal Mekkah yang datang ke Aceh pada masa Sultan Badrul Munir Jamailullail bin Syarif Hasyim (1703-1726). Sejak Azyumardi Azra meneliti jaringan ulama Nusantara pada abad XVII-XVII, didapati hubungan Aceh dengan Haramayn (Mekkah dan Madinah) telah membawa gagasan pembaharuan Isl‚m di Nusantara. Maka kehadiran Chik Awe Geutah ke Aceh tidak lepas dari jaringan ulama pada abad ke-17 dan 18 itu.

Sumber Artikel : https://www.alhaq.xyz/detailpost/mengenal-tgk-syik-awe-geutah-ulama-asal-mekkah-yang-datang-ke-aceh
Fanspage : ALHAQ

Asal usul Nama Indonesia

Kata orang apalah arti nama. Ya, apa artinya nama? Apakh pada akhirnya nama memang sesuatu yang benar-benar ‘unik’, yang dapat membedakan ‘kita’ dengan ‘yang lain’? Nah, kalau sama terus kenapa? Dan kalau beda, memang mau apa?
Pertanyaan itu mungkin bisa kita renungkan bersama. Walaupun perkara ‘nama’ ini kelihatannya sederhana tetapi sebenarnya ada “politik identitas” yang termuat di dalamnnya loh… Aduh, hari gini masih ngomong politik? Enggak banget ya?! Eits, tenang… Politik identitas ini punya definisi yang beda dari politik kekuasan. Nah, sebelum kita masuk ke “politik identitas” itu kita pelajari dulu yuk asal-usul nama Indonesia…
Sebelum kedatangan bangsa Eropa
PADA zaman purba kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai atau Kepulauan Laut Selatan. Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara, Kepulauan Tanah Seberang, nama yang diturunkan dari kata Sansekerta, dwipa, yang berarti pulau dan antara yang berarti luar atau seberang.
Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Ramayang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa, Pulau Emas, yaitu Sumatra (sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi, Kepulauan Jawa. Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra.
Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab, bahkan bagi orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Para pedagang di Pasar Seng, Mekkah menyebut, “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi” atau “Sumatra, Sulawesi , Sunda, semuanya Jawa”.
Masa kedatangan Bangsa Eropa
Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia . Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan jika Asia hanya terdiri dari Arab, Persia , India , dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah Hindia. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”, sedangkan tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies , Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (*Maleische Archipel, Malay Archipelago , l’Archipel Malais).
Ketika tanah ini dijajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch- Indie atau Hindia Belanda, sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah Hindia Timur atau To-Indo.

Berbagai Usulan Nama
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan namayang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer. Bagi orang Bandung , Insulinde mungkin hanya dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “ India ”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 Lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kata-kata ini sendiri termuat dalam Sumpah Palapa yang dikumandangkan Gajah Mada, ”Lamun huwus kalah Nuswantara, isun amukti palapa”, “jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat”. Oleh Dr. Setiabudi katanusantara zaman Majapahit tersebut diberi pengertian yang nasionalistis.
Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi Nusantara yang modern. Istilah Nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda. Sampai hari ini istilah Nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Lalu dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul?

Nama Indonesia
Tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel “On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations.” Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas, a distinctive name, sebab nama Hindia Tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama, Indunesia atau Malayunesia, nesos, dalam bahasa Yunani berarti Pulau. Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis, “… the inhabitants of the Indian Archipelago or malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.”

Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia, Kepulauan Melayu, daripada Indunesia atau Kepulauan Hindia, sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia. Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago, Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan ini, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan, “Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia , which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago.” Ketika mengusulkan nama Indonesia agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918.
Putra pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.

Masa Kebangkitan Nasional: Makna politis
Pada dasawarsa 1920-an, nama Indonesia yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama Indonesia akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda, yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging, berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Dalam satu tulisannya Bung Hatta menegaskan, “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut Hindia Belanda. Juga tidak Hindia saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.“
Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij).
Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama Indonesia. Akhirnya nama Indonesia dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda. Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad, Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardji Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch- Indie”. Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah namun masukkanya Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 membuat Hindia Belanda ‘lenyap’ dan pada akhirnya tergantikan dengan Republik Indonesia.