Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah


Dalil "kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah" perlu diletakkan dalam konteks menjawab tantangan zaman.

Sebelum berbicara tentang tantangan yang dihadapi umat Islam secara rinci, perlu digarisbawahi bahwa tantangan dan lawan yang harus dihadapi bukan saja datang dari luar, tetapi juga dari dalam diri kita sendiri. Agaknya itulah yang menyebabkan mengapa Nabi SAW., ketika beliau kembali dari sebuah pertempuran, menegaskan bahwa: “Kita baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad yang besar, yakni melawan diri kita sendiri.”

Diriwayatkan juga bahwa Sayyidina Ali pernah bersabda: “Hai manusia, penyakitmu ada pada dirimu, tapi engkau tidak mengetahui, dan obatnya ada padamu, tapi engkau tidak hiraukan.”

Kalau kini kita telah menyadari adanya tantangan, maka tantangan itu pertama kali harus dicari pada diri kita sebelum mencarinya pada orang lain. Dalam hal ini, kita hendaknya belajar dari jari-jari kita sendiri ketika menunjuk. Hanya satu jari yang kita arahkan keluar, yaitu jari telunjuk, sedangkan tiga jari lainnya menunjuk ke diri kita dan salah satunya ditekan oleh ibu jari.

Dahulu umat Islam disegani oleh masyarakat dunia. Mereka belajar dari kita. Tetapi, kini kita tertinggal dalam segala bidang, bahkan kita mendapat tantangan dari segala penjuru.

Ada yang berkata: Andaikan Baghdad tidak jatuh ke tangan Mongol pada 1258 M, yang disusul dengan penghancuran pusat-pusat ilmu; dan andai kata dunia Barat tidak menemukan jalur perdagangan laut pada abad ke-15 M, tentulah keadaan dunia Islam tidak seperti sekarang ini. Tetapi, apa gunanya berandai-andai karena jarum waktu tidak bisa diputar kembali. Sejak itu, sedikit demi sedikit tetapi pasti, dunia Islam telah mengalami keterpurukan, dan itu berlanjut hingga kini.

Kini dunia Islam yang mengalami kontak dengan Barat, bukan lagi dunia Islam sebelum keruntuhan Baghdad, atau keruntuhan Dinasti Muwahidun dan terusirnya kaum Muslin dari Spanyol pada 1235 M. Bahkan, tantangan yang dihadapi kini bukan hanya dalam bidang politik dan ekonomi, tetapi juga dalam bidang ideologi dan filsafat materialistis, yang tidak jarang bertentangan dengan ajaran Islam.

Kesadaran tentang adanya tantangan telah lama muncul. Aneka resep dan langkah perubahan pun telah diupayakan. Ada yang mengambil sikap apatis atau acuh tak acuh terhadap kemajuan itu, yang boleh jadi karena mereka tidak menyadari dampak buruknya terhadap umat pada satu pihak, namun kadang karena terbuai oleh kejayaan masa lampau pada pihak lain. Mereka inilah yang menghasilkan apa yang kemudian dinamai Adab al-fakhr wa at-Tamjid, yakni menunjuk zaman keemasan yang telah berlalu dan berbangga dengannya. Dampak buruk dari sikap ini adalah sering kali bila ada penemuan ilmiah dari pihak lain, kita berucap: “Itu sudah ada dalam al-Qur’an.”

Ada juga yang berusaha menghadapi cobaan (rintangan) itu dengan pemurnian agama, seperti antara lain yang dilakukan oleh gerakan Wahabiyah di Saudi Arabia, as-Sanusiyah di Libia, dan Jamaah Islamiyah di Pakistan. Mereka beranggapan bahwa masa Rasulullah SAW., adalah masa terbaik berdasarkan hadis Rasulullah SAW. ("Sebaik-baik generasi adalah generasiku"). Apa saja diterima dari Rasul SAW., tanpa mempertimbangkan faktor budaya dan perkembangan positif masyarakat. Mereka lupa, atau mungkin tidak mau tahu, bahwa Rasul SAW., juga pernah bersabda: “Umatku seperti hujan, tidak diketahui apakah awalnya, tengahnya, atau akhirnya yang terbaik.”

Dengan logika “masa Rasul SAW., dan sahabat-sahabat beliau, sebagai sebaik-baiknya generasi”, maka mereka dengan gigih menolak segala sesuatu yang datang sesudah masa itu, baik yang bersumber dari dalam masyarakat mereka sendiri, lebih-lebih yang datang dari luar masyarakat dan bangsa lain.

Di sini, sekali lagi, mereka lupa nasihat Nabi Muhammad SAW., bahwa: “Al-Hikmah (yakni amal ilmiah dan ilmu amaliah adalah) milik dan dambaan seorang Muslim, di mana pun ia ditemukan maka sang Muslim itulah yang wajar mengambilnya.”

Ada lagi sekelompok kaum Muslim yang menilai bahwa tantangan itu harus dihadapi dengan belajar dari Barat dan mengambil segala sesuatu dari sana. Tetapi, mereka sering kali lupa pada akar budaya mereka sendiri serta ajaran agama Islam. Ini, misalnya, ditempuh oleh Ahmad Khan di India atau Kemal at-Taturk di Turki.

Ada juga sekelompok kecil yang berusaha mempelajari aneka kemajuan yang dicapai masyarakat Barat dan menerapkannya tanpa meninggalkan kepribadian dan prinsip-prinsip ajaran Islam. Ketiga pandangan di atas hingga kini masih memiliki pendukung-pendukungnya masing-masing.

Demikianlah, kita mengetahui bahwa saat kita sakit, tetapi obat yang kita gunakan belum tepat. Apa yang telah dilakukan selama ini, paling baru sebatas infus untuk mempertahankan hidup, belum sampai pada pengobatan yang dapat menghilangkan penyakitnya.

Kini, kalau kita telah menyadarinya bahwa masyarakat Islam berada di dalam tantangan dan ketertinggalan, padahal dahulu pernah jaya, maka tuntunan kitab suci menuntut agar kita mencari sebab perubahan itu. Mengapa kita berubah sehingga terpuruk dalam keadaan tertantang? Mengapa dewasa ini kita menjadi konsumen peradaban, sedang dahulu kita adalah produsennya?

Sebagian pakar berkata bahwa untuk mewujudkan peradaban diperlukan tiga unsur yang menyatu yaitu manusia + tanah/wilayah + waktu. Juga tersedianya elemen perekat ketiganya yaitu agama dan nilai-nilai spiritual.

Semua peradaban lahir dari ketiga hal tersebut, yang tentu saja disertai dengan perekatnya. Menurut sebagian pakar, seperti Max Weber, bahwa kebangkitan Eropa lahir dari etika Protestan, di mana mereka menekankan bahwa surga dapat diperoleh melalui sukses di dunia, dan karena itu mereka bersungguh-sungguh membangun diri dan masyarakat dalam kehidupan dunia guna meraih surga ukhrawi. Bandingkanlah nilai spiritual ini dengan pandangan sebagian umat Islam yang bertolak belakang dengan nilai tersebut.

Dalam pengamatan banyak pakar, nilai-nilai spiritual atau ajaran agama selalu menyertai lahirnya peradaban. Bahkan dari lima belas peradaban besar yang dikenal dalam sejarah, dimulai dari Peradaban Sumeria hingga Peradaban Amerika dewasa ini, kesemuanya lahir dari upaya mempertahankan nilai-nilai tersebut yang terpaksa mereka lakukan dengan berhijrah ke tempat lain.

Umat Islam dewasa ini memiliki ketiga unsur peradaban di atas, manusia, tanah/materi, dan waktu. Umat Islam pun memiliki ajaran agama, namun keadaan kita ternyata tidak seperti yang diharapkan. Jika demikian, kita harus mencari akar persoalannya yang sekaligus menjadi tantangan kita pada unsur peradaban itu, yakni manusia, tanah, dan waktu, juga pada nilai-nilai perekatnya, yakni pemahaman dan pengamalan agama kita.

Apakah ada yang keliru? Jumlah kaum Muslim banyak, tanah yang dimilikinya luas, dan waktu yang tersedia tidak lebih sedikit dari waktu pihak lain. Jika demikian, bagaimana dengan ajaran agamanya? Adakah yang keliru?

Setiap Muslim pasti akan berkata: Tidak! Karena itu, boleh jadi pemahaman dan pengalaman kita terhadap al-Qur’an yang keliru. Dari sini lahir slogan: Mari kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah.

SUNNAH-SUNNAH YANG TERLUPAKAN

Rosululloh  diutus untuk menyucikan jiwa manusia dari pekatnya kotoran jahiliyah yang melekat dan juga untuk membingkai ulang puing-puing hati, yang sebelumnya bagaikan sarang laba-laba kebatilan. Lalu beliau menyinarinya dengan sinar Islam dan mengentaskannya dari bawah timbunan kebatilan. Jiwa manusia pun kokoh, sehat seperti sediakala, mengamalkan apa saja yang diketahuinya baik perkara-perkara wajib maupun yang sunnah. Alhasil, jiwa manusia ketika itu memimpin dan menjadi panglima, hingga kurun waktu tertentu –sesuai dengan kehendak Alloh .

Namun setelah era mereka –generasi terdahulu–, datanglah generasi baru yang dibuat buta oleh dunia. Akibatnya, mereka tidak mampu melihat akhirat dan gagal beramal untuknya. Sedikit demi sedikit mereka mulai enggan mengamalkan ajaran Islam. Mungkin saat ini sebagian besar kaum Muslimin masih mengamalkan perkara yang wajib, namun hanya sedikit dari mereka yang memperhatikan, mempelajari dan mengamalkan amalan-amalan yang disunnahkan. Rosululloh  diutus untuk menyucikan jiwa manusia dari pekatnya kotoran jahiliyah yang melekat dan juga untuk membingkai ulang puing-puing hati, yang sebelumnya bagaikan sarang laba-laba kebatilan. Lalu beliau menyinarinya dengan sinar Islam dan mengentaskannya dari bawah timbunan kebatilan. Jiwa manusia pun kokoh, sehat seperti sediakala, mengamalkan apa saja yang diketahuinya baik perkara-perkara wajib maupun yang sunnah. Alhasil, jiwa manusia ketika itu memimpin dan menjadi panglima, hingga kurun waktu tertentu –sesuai dengan kehendak Alloh .

Berikut ini adalah sebagian kecil di antara amalan-amalan sunnah yang mulai ditinggalkan oleh kaum Muslimin:

 1. Meruqyah diri sendiri atau keluarganya.
Dari ‘Aisyah  ia berkata:
“Bahwa Nabi  meruqyah diri beliau sendiri dengan doa-doa perlindungan ketika sakit, yaitu pada sakit yang menyebabkan pada wafatnya beliau. Ketika kondisinya sudah mulai berat (sakitnya bertambah parah) maka akulah yang meruqyah beliau dengan doa tersebut, aku usap tubuh beliau dengan tangannya karena keberkahannya.” (HR. al-Bukhori)

2. Berdoa ketika mengenakan pakian baru.
Dari Abi Sa’id al-Khudri  ia berkata:
“Rosululloh  jika mengenakan pakian baru, beliau menyebut nama Alloh , baik ketika memakai gamis maupun sorban, kemudian beliau membaca, Ya Alloh, bagi-Mu segala pujian, Engkau yang memberikan pakian ini kepadaku, aku memohon kepada-Mu kebaikannya serta kebaikan yang karenanya pakain ini dibuat, dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan pakian ini serta keburukan karenanya pakian ini dibuat.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
 
3. Mengucapkan salam.
Dari ‘Abdulloh bin Amr  ia men-ceritakan:
“Seseorang bertanya kepada Rosululloh ,“Islam bagaimankah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Engkau memberi makan (kepada yang membutuhkan) dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal maupun yang tidak.” (HR. Muslim)
Dari Anas bin malik , ia berkata:
“Bahwa Rosululloh  melewati anak-anak kecil dan beliau   mengucapkan salam kepada mereka.” (HR. Muslim)

4.  Berwudhu sebelum mandi besar.
Dari ‘Aisyah , ia berkata:
“Bahwa Nabi , jika mandi karena berhadats besar (junub) beliau memulai dengan membasuh kedua tangannya, kemudian  berwudhu seperti wudhu ketika hendak sholat, kemudian memasukkan jari-jemari ke air (bajana) dan menyela-nyela rambut dengannya, setelah itu membasuh kepala dengan tiga genggam tangan, setelah itu beliau menyiramkan air keseluruh tubuhnya.”(HR. al-Bukhori)

5. Mengamini imam dengan mengeraskan suara.
Dari Abu Huroiroh , ia berkata:
“jika imam mengucapkan ‘amin’ (setelah membaca al-fatihah), maka ucapkanlah oleh kalian ‘amin’ karena siapa yang ucapan ‘amin’ nya menyamai ucapan amin para malaikat, maka di-ampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (al-Bukhari dan Muslim)

6. Mengeraskan suara ketika membaca dzikir setelah sholat.
Dalam hadits shohih disebutkan bahwa orang-orang mengeraskan suara mereka dengan bacaan dzikir ketika selesai sholat, perkara ini dilakukan pada masa Nabi .
Ibnu Taimiyyah  berkata: “Di-anjurkan mengeraskan bacaan dan membacah tasbih, tahmid, dan takbir setelah sholat.”
Sunnah ini telah terputus pada ke-banyakan masjid sehingga tidak ada pembeda antara kondisi masih sholat atau setelah imam membaca salam (selesai sholat), karena semua orang diam dan tidak mengeraskan bacaan dzikir.
Ini tidak berarti dianjurkannya dzikir secara bersama-sama. Yang disunnahkan adalah masing-masing mengeraskan bacaan dzikirnya sendiri-sendiri.

7. Membuat sutroh (penghalang) pada saat sholat fardhu maupun sunnah.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri , bahwa Rosululloh  bersabda:
“Jika salah seorang di antara kalian sholat, maka buatlah sutroh (di hadapan-nya) dan hendaklah ia mendekatkan ke-padanya. Jangan ia membiarkan seorang pun lewat di depannya (antara dia dan sutroh), jika ada seseorang yang tetap ingin melewatinya, maka lawanlah (halangilah), karena sesungguhnya ia adalah setan.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

8. Mengikuti bacaan muadzin.
Dari Abdullah bin Umar , bahwa ia mendengar Rosululloh  bersabda:
“Jika kalian mendengar muadzin (me-ngumandangkan adzan), maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkannya, kemudian bersholawatlah untukku, karena barangsiapa yang ber-sholawat untukku satu kali, maka Alloh  akan bersholawat kepadanya sepuluh kali. Setelah itu mintalah wasilah untukku, karena ia merupakan satu tempat (kedu-dukan) di surga yang tidak dimasuki ke-cuali oleh seorang hamba dari hamba-hamba Alloh, dan aku berharap akulah hamba tersebut. Siapa yang memintakan wasilah kepada-ku, maka ia berhak mendapatkan syafaatku.” (HR. Muslim)

9. Berlomba-lomba untuk mengu-mandangkan adzan dan bersegera menuju sholat, serta berupaya untuk mendapatkan barisan per-tama.
Dari Abu Huroiroh , Rosululloh  bersabda:
“Sekiranya orang-orang tahu (pahala) apa yang terdapat pada adzan serta shaf (barisan) pertama, kemudian masing-masing mereka tidak mendapatkannya kecuali dengan undian, niscaya mereka akan melakukan undian. Dan seandainya mereka tahu (pahala) apa yang terdapat dalam bersegera menunaikan sholat, pasti mereka akan berlomba-lomba untuk men-jadi yang pertama dalam menuju sholat. Dan seandainya mereka tahu (pahala) apa yang terkandung dalam sholat Isya’ dan shubuh, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak.” (HR. al-Bukhori dan Muslim)

10. Mengibaskan tempat tidur ketika hendak tidur.
Dari Abu Huroiroh , Rosululloh  bersabda:
“Jika salah seorang dari kalian hendak berbaring di peraduannya, maka hendaklah ia menggunakan ujung kainnya lalu kibaskanlah tempat tidur dengannya, kemudian membaca nama Alloh, karena sebenarnya ia tidak tahu ada apa dibaliknya. Jika ia hendak berbaring, maka berbaringlah di atas sisi kanan badannya, dan ucapkanlah, ‘maha suci Engkau wahai Robbku, dengan nama-Mu aku letakkan punggungku, dan dengan nama-Mu aku mengangkat-nya (bangun). Jika engkau menahan nyawaku, maka ampunilah ia, dan jika Engkau biarkan (Engkau hidupkan aku) maka peliharalah ia dengan sesuatu yang dengannya Engkau memelihara ha-mba-hamba-Mu yang sholih.” (HR. Muslim)

11. Bersegera untuk tidur malam (tidak begadang).
Begadang tidak boleh dilakukan, kecuali demi suatu maslahat, seperti be-lajar, mengobati orang sakit, dan sejenis-nya. Dalam Shohih, al-Bukhori dan Muslim disebutkan bahwa Rosululloh  membenci tidur sebelum Isya’ dan berbincang-bincang setelahnya.”
Demikianlah di antara beberapa amalan sunnah yang mulai ditinggalkan oleh kaum Muslimin karena mungkin dianggap sepele atau tidak memiliki penge-tahuan tentangnya. Tentu saja masih banyak amalan-amalan sunnah lain yang perlu diperhatikan dan diamalkan oleh kaum Muslimin.

Semoga dengan pengamalan terhadap perkara-perkara sunnah tersebut kita termasuk orang-orang yang telah melaksanakan perintah Alloh . Alloh  berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan.” Yaitu dengan mengamalkan seluruh ajarannya.
Wallohu a’lam.